IBNU KHALDUN
IBNU KHALDUN DAN PEMIKIRANNYA
1. Pendahuluan.
Rasanya tidaklah
berlebihan untuk mengatakan bahwa falsafah tentang segala sesuatu bukan tidak
lebih penting dari sesuatu itu sendiri, karena falsafahlah yang akan menentukan
kemana tujuan dari sesuatu tersebut diarahkan, karena ia merupakan ide atau
pembahasan yang sistematis tentang permasalahan yang sedang dihadapi,
sebagaimana pula masalah pendidikan. Brodi, seorang pakar filsafat pendidikan,
sebagaimana dikutip Muhaimin dalam bukunya Wacana Pengembangan Pendidikan
Islam, mengatakan bahwa tugas filsafat pendidikan Islam adalah menyelidiki
suatu persoalan metafisika, epistemologi, etika, logika, estetika, maupun
kombinasi dari semuanya.
Dalam kaitannya dengan
pemikiran Ibnu Khaldun mengenai filsafat pendidikan, dapat dikatakan bahwa
pemikiran yang lahir pada pertengahan abad XIV itu telah mengakomodir ide-ide
falsafah pendidikan yang masih aktual sampai hari ini. Hal itu sebagaimana
dikatakan Ibnu Khaldun pada bab IV dari Muqaddimahnya, bahwa ilmu pendidikan
bukan sebagai suatu aktifitas yang semata-mata bersifat pemikiran dan
perenungan, yang jauh dari aspek-aspek pragmatis di dalam kehidupan, akan
tetapi ia merupakan gejala konklusif yang lahir dari terbentuknya masyarakat
dan perkembangannya dalam tahapan kebudayaan. Dengan demikian pendidikan
merupakan sebuah keniscayaan dalam sebuah masyarakat manusia, dan ia akan
selalu berkembang sesuai perkembangan dan kemajuan peradaban manusia.
Karena disadari atau tidak, sesungguhnya manusia senantiasa berada dan tidak mungkin bisa keluar dari ruangan pendidikan yang disebut “dunia”, karena ketika sekolah dikatakan sebagai lembaga pendidikan formal, maka sesungguhnya “dunia” merupakan sekolah terbesar bagi manusia, karena di dalamnya dan dari padanya manusia dapat memperoleh banyak hal tentang pengetahuan kehidupan. Karena itu Ibnu Khaldun berkeyakinan bahwa manusia yang tidak sempat memperoleh pendidikan dari kedua orang tuanya, maka zamanlah yang akan mendidiknya.
Oleh karena pendidikan sesungguhnya tidak pernah mengenal batas usia, tempat dan waktu, sebab sepanjang kehidupannya pada hakekatnya manusia akan selalu berpikir, berkreasi, beraktifitas, memiliki pengalaman-pengalaman, serta tujuan-tujuan hidup yang akan dicapai dengan cara-cara itu atau metode tertentu, yang menurut Ibnu Khaldun tujuan itu adalah kebahagiaan dunia akhirat.
Karena disadari atau tidak, sesungguhnya manusia senantiasa berada dan tidak mungkin bisa keluar dari ruangan pendidikan yang disebut “dunia”, karena ketika sekolah dikatakan sebagai lembaga pendidikan formal, maka sesungguhnya “dunia” merupakan sekolah terbesar bagi manusia, karena di dalamnya dan dari padanya manusia dapat memperoleh banyak hal tentang pengetahuan kehidupan. Karena itu Ibnu Khaldun berkeyakinan bahwa manusia yang tidak sempat memperoleh pendidikan dari kedua orang tuanya, maka zamanlah yang akan mendidiknya.
Oleh karena pendidikan sesungguhnya tidak pernah mengenal batas usia, tempat dan waktu, sebab sepanjang kehidupannya pada hakekatnya manusia akan selalu berpikir, berkreasi, beraktifitas, memiliki pengalaman-pengalaman, serta tujuan-tujuan hidup yang akan dicapai dengan cara-cara itu atau metode tertentu, yang menurut Ibnu Khaldun tujuan itu adalah kebahagiaan dunia akhirat.
Berangkat dari uraian
tersebut di atas, tulisan ini akan mencoba mendiskripsikan pandangan dan
ide-ide Ibnu Khaldun tentang falsafah pendidikan yang secara implisit mengacu
kepada tujuan sebagaimana tersebut di atas.
2. Biografi Ibnu Khaldun.
Ibnu Khaldun, nama lengkapnya
adalah Abdurrahman Zaid Waliuddin bin Khaldun, lahir di Tunisia pada tanggal 1
Ramadhan 732 H, bertepatan dengan tanggal 27 Mei 1332 M. Nama kecilnya adalah
Abdurrahman, sedangkan Abu Zaid adalah nama panggilan keluarga, karena
dihubungkan dengan anaknya yang sulung. Waliuddin adalah kehormatan dan
kebesaran yang dianugerahkan oleh Raja Mesir sewaktu ia diangkat menjadi Ketua
Pengadilan di Mesir.
Adapun asal-usul Ibnu Khaldun
menurut Ibnu Hazm ulama Andalusia yang wafat tahun 457 H/1065 M, disebutkan
bahwa: Keluarga Ibnu Khaldun berasal dari Hadramaut di Yaman, dan kalau
ditelusuri silsilahnya sampai kepada sahabat Rasulullah yang terkenal
meriwayatkan kurang lebih 70 hadits dari Rasulullah, yaitu Wail bin Hujr. Nenek
moyang Ibnu Khaldun adalah Khalid bin Usman, masuk Andalusia (Spanyol)
bersama-sama para penakluk berkebangsaan Arab sekitar abad ke VII M., karena
tertarik oleh kemenangan-kemenangan yang dicapai oleh tentara Islam. Ia menetap
di Carmona, suatu kota kecil yang terletak di tengah-tengah antara tiga kota
yaitu Cordova, Granada dan Seville, yang di kemudian hari kota ini menjadi
pusat kebudayaan Islam di Andalusia.
Pada waktu itu Ibnu Khaldun baru
berusia 18 tahun. Adapun pendidikan yang diperoleh Ibnu Khaldun diantaranya
adalah pelajaran agama, bahasa, logika dan filsafat. Sebagai gurunya yang utama
adalah ayahnya sendiri, di samping Ibnu Khaldun juga menghafal al-Qur’an,
mempelajari fisika dan matematika dari ulama-ulama besar pada masanya. Di
antara guru-guru Ibnu Khaldun adalah Muhammad bin Saad Burral al-Anshari,
Muhammad bin Abdissalam, Muhammad bin Abdil Muhaimin al-Hadrami dan Abu
Abdillah Muhammad bin Ibrohim al-Abilli. Dari merekalah Ibnu Khaldun
mendapatkan berbagai macam ilmu pengetahuan. Pada tahun 1349 setelah kedua
orang tua Ibnu Khaldun meninggal dunia Ibnu Khaldun memutuskan untuk pindah ke
Marokko, namun dicegah oleh kakaknya, baru tahun 1354 Ibnu Khaldun melaksanakan
niatnya pergi ke Marokko, dan di sanalah Ibnu Khaldun mendapatkan kesempatan
untuk menyelesaikan pendidikan tingginya. Selama menjalani pendidikannya di
Marokko, ada empat ilmu yang dipelajarinya secara mendalam yaitu: Kelompok
bahasa Arab yang terdiri dari: Nahwu, shorof, balaghoh, khitabah dan sastra.
Kelompok ilmu syari’at terdiri dari: Fiqh (Maliki), tafsir, hadits, ushul fiqh
dan ilmu al-Qur’an. Kelompok ilmu ‘aqliyah (ilmu-ilmu filsafat) terdiri dari:
filsafat, mantiq, fisika, matematika, falak, musik, dan sejarah. Kelompok ilmu
kenegaraan terdiri atas: ilmu administrasi, organisasi, ekonomi dan politik.
Dalam sepanjang hidupnya Ibnu Khaldun tidak pernah berhenti belajar,
sebagaimana dikatakan oleh Von Wesendonk: bahwa sepanjang hidupnya, dari awal
hingga wafatnya Ibnu Khaldun telah dengan sungguh-sungguh mencurahkan
perhatiannya untuk mencari ilmu. Sehingga merupakan hal yang wajar apabila
dengan kecermelangan otaknya dan didukung oleh kemauannya yang membaja untuk
menjadi seorang yang alim dan arif, hanya dalam waktu kurang dari seperempat
abad Ibnu Khaldun telah mampu menguasai berbagai ilmu pengetahuan.
3. Pembahasan.
a.
Pemikiran Ibnu khaldun tentang kedudukan
manusia dalam alam semesta.
Manusia menurut Ibnu Khaldun adalah
bukan merupakan produk nenek moyang, akan tetapi produk sejarah, lingkungan
sosial, lingkungan alam, adat istiadat. Karena itu lingkungan sosial merupakan
pemegang tanggung jawab dan sekaligus memberikan corak penilaian seorang
manusia. Hal ini memberikan arti bahwa pendidik menempati posisi sentral dalam
rangka membentuk manusia ideal yang diinginkan.
Manusia sebagai khalifah fil ardli,
dibekali oleh Allah SWT akal pikiran, untuk mengatur, merekayasa, dan mengolah
sumber daya alam untuk keperluan seluruh umat manusia, sehingga manusia
memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat. Maka manusia dikatakan sebagai
makhluk yang berbeda dengan makhluk yang lainnya, karena manusia adalah makhluk
yang berpikir. Oleh karena itu manusia mampu melahirkan ilmu (pengetahuan) dan
teknologi. Sifat-sifat semacam ini tidak dimiliki oleh makhluk lainnya.
Kemampuan berpikirnya itu tidak hanya membuat kehidupannya, tetapi juga menarik
peneliti terhadap berbagai cara guna memperoleh makna hidup. Proses-proses yang
semacam ini melahirkan perbedaan.
Akal pikiran yang menghasilkan ilmu
pengetahuan, juga dapat menuntun manusia ke jalan Ilahi dan meningkatkan
derajat manusia sehingga manusia diwajibkan untuk menuntut ilmu pengetahuan.
Hidupnya jiwa manusia karena ilmu pengetahuan, dan gelapnya hati manusia karena
miskinnya ilmu pengetahuan.
Dengan akal pikiran inilah yang
kemudian menjadikan manusia memiliki perbedaan dengan makhluk lainnya,
khususnya binatang. Perbedaan ini antara lain karena manusia disamping memiliki
pemikiran yang dapat menolong dirinya untuk menghasilkan kebutuhan hidupnya,
juga memiliki sikap hidup bermasyarakat yang kemudian dapat membentuk suatu
masyarakat antara satu dengan lainnya saling menolong. Dari keadaan manusia
yang demikian itu maka timbullah ilmu pengetahuan dan masyarakat. Pemikiran
tersebut pada suatu saat diperlukan dalam menghasilkan sesuatu yang tidak dapat
dicapai oleh panca indera. Ilmu yang demikian mesti diperoleh dari orang lain
telah lebih dahulu mengetahui.
b. Pemikiran
Ekonomi Ibnu Khaldun
Ibn Khaldun juga mendukung bidang
ekonomi internasional. Melalui pengamatannya dan pikiran analitisnya, ia
niscaya menerangkan keuntungan perdagangan antar negara-negara. Melalui perdagangan
luar negeri, menurut Ibnu Khaldun, kepuasan masyarakat, laba pedagang, dan kekayaan
negara semuanya menungkat. Pertimbangan untuk mengadakan foreign trade adalah:( 1) lebih murah dibanding memproduksi secara
internal,( 2) mutu yang lebih baik, atau
( 3) a totally new product.Ibnu
Khaldun dalam analisa dan pengamatan perdagangan luar negerinya pengenalan
layak mendapat penghargaan dalam bidang ekonomi internasional. Pokok keuntungan
dari perdagangan telah dikembangkan dan yang diperluas, khususnya,sejak
penerbitan Political Discourses oleh David Hume pada tahun
1752. Tetapi yang pertama menanamkan pokok pikiran tersebut adalah Ibnu Khaldun
empat abad sebelumnya.Kendati kontribusi keseluruhan Ibn Khaldun kepada bidang
ekonomi sangat penting, Adam Smith lah yang diberi gelar ” bapak ekonomi.”
( Drs. Deliarnov, MSC: 2006, hlm: 6 ) Ibnu Khaldun jauh lebih orisinil dibanding
Adam Smith, meskipun fakta bahwa yang terdahulu juga telah mempengaruhi
pemikiran dan teori-teorinya, seperti spesialisasi Plato, Analisa uang
Aristotle, dan Tahir Ibn al-Husayn’s tentang peran pemerintah. Meski demikian,
Ibn Khaldun lah yang menemukan gagasan asli dalam banyak segi dalam pemikiran
ekonomi.
Dalam kaitannya dengan harga suatu
barang Ibn Khaldun menyatakan bahwa yang mengendalikannya adalah penawaran dan
permintaan terhadap barang. Bila permintaan terhadap barang meningkat, maka
harga juga akan meningkat, namun bila permintaannya menurun maka harga juga
akan menurun. Dalam hal ini Ibn Khaldun membedakan suatu barang dalam dua
kategori, yaitu barang primer dan sekunder. Sebagaimana dijelaskan dalam
al-Muqadimah bab IV pasal “tentang harga-harga di kota” bahwa harga
barang-barang primer (bahan makanan) yang ada di kota-kota besar tidak sama
dengan yang ada di kota-kota kecil. Begitu pula dengan harga barang-barang
sekunder (non bahan makanan) di kedua kota tersebut juga tidak sama. Hal ini
karena berbedanya tingkat permintaan penduduk pada masing-masing kota terhadap
komoditi yang ditawarkan di pasar.
Di kota-kota besar harga
barang-barang primer lebih murah dibandingkan dengan di kota-kota kecil, hal
ini karena tiap penduduknya telah mengalami surplus bahan-bahan tersebut
(barang-barang primer), dikarenakan mereka telah berusaha untuk mendapatkannya
kemudian menyimpannya, hingga mereka hidup dalam kemakmuran sebagai hasil dari
melimpahnya bahan makanan. Dan layaknya manusia lainnya yang selalu
menginginkan suatu yang lebih dari apa yang ada di genggaman, maka kebutuhan
pun berpaling dari barang-barang primer ke barang-barang sekunder lainnya.
Seiring dengan semakin tingginya neraca kemakmuran masyarakat maka semaskin
tinggi pula animo mereka untuk memilikinya, ini yang oleh Ibn Khaldun disebut
dengan naiknya permintaan dan naiknya harga khususnya terhadap barang-barang
sekunder di kota-kota besar. Sedang di kota-kota kecil, yang terjadi adalah
sebaliknya hal ini karena mereka lebih disibukkan untuk mencari dan
mengumpulkan barang-barang primer (bahan makanan) dari pada barang-barang
sekunder, karena menurut mereka kebutuhan akan barang-barang primer lebih utama
dari yang lainnya. Dalam hal ini nilai dari kemanfaatan barang yang memegang
kendali utama naik-turunnya penawaran dan permintaan. Maka apabila nilai
kemanfaatan suatu barang itu naik maka permintaan terhadap barang itu juga
naik, dan sebaliknya bila nilai kemanfaatan suatu barang itu turun maka
permintaan terhadap barang itu juga akan turun. Hal inilah yang terjadi dengan
barang-barang primer dengan barang-barang sekunder di masing-masing kota
tersebut.
Dalam hal mekanisme pasar, Ibn
Khaldun sangat menekankan pada prinsip pasar bebas dan menafikan peran
pemerintah, karena menurutnya pemerintah adalah pemegang otoritas tunggal yang
berkuasa sepenuhnya atas semua aspek kehidupan masyarakat. Market intervention
harus dicegah, karena dengan adanya market intervention berarti kekuasaan pemerintah
akan digunakan untuk keperluan mereka sebagai pemegang puncak kekuasan
aristokrasi. Terlebih bila mereka ikut serta dalam praktek perdagangan dan
pertanian.
Dalam al-Muqadimah, bab III pasal
“perdagangan yang dilakukan raja dan negara berbahaya dan merusak pendapatan
rakyat”, dijelaskan bahwa pada mulanya para pelaku perdagangan dan pertanian
berada dalam sebuah mekanisme yang mempunyai kedudukan yang sama atau hampir
sama dalam kekayaan dan kekuasaan. Dalam kondisi demikian, price competition
dan mekanisme pasar dapat berjalan dengan sempurna. Tapi ketika pemerintah ikut
ambil bagian dalam perdagangan dan pertanian maka normalitas ini akan rusak,
karena bagaimanapun juga pemerintah akan berusaha untuk menguasainya,
memproduksi, menjual dan membeli hasil produksi dengan kehendak sendiri tanpa
memperdulikan keadaan pasar dan keadilan harga.
Akibatnya adalah bahwa para
pedagang dan petani akan mengalami kesulitan dalam pengembangan usaha mereka.
Meski mereka telah mengeluarkan seluruh modal usaha mereka, tetapi mekanisme
pasar dan juga harga tetap berada pada pemerintah sebagai pemegang kekuasaan
yang tidak menghindahkan keadilan, kesempurnaan mekanisme pasar dan stabilitas
harga. Dan bila tetap dibiarkan berjalan tanpa mengindahkan hak pedagang dan
petani maka mereka akan mengalami kerugian dan menghentikan usaha mereka, untuk
selanjutnya masyarakat akan mengalami kesulitan dalam mendapatkan barang-barang
yang mereka butuhkan. Devisa negara dari sektor pajak perdagangan,
perindustrian dan pertanian juga mengalami penurunan sebagai akibat dari
banyaknya produsen barang dan penghasil komoditi yang dibutuhkan masyarakat
yang bangkrut dan gulung tikar.
Pendapat Ibn Khaldun di atas dapat
dipahami, sebab ia hidup pada suatu masa di mana negara bukanlah wakil seluruh
masyarakat dan rakyat, tetapi wakil dari kelompok minoritas aristokrasi yang
berkuasa dengan sultan atau raja berada di puncak kekuasaan mutlak. Oleh karena
itu tidak mengherankan kalau Ibn Khaldun mengkritik campur tangan negara,
karena menurutnya rakyat dan masyarakatlah yang berhak mengarahkan ekonomi dan
bukan kelompok minoritas aristokrasi tersebut.
Hal ini tentunya berlawanan dengan
prinsip keadilan, keselarasan dan keterbukaan dalam dunia bisnis dan
perdagangan karena pada dasarnya setiap pengusaha akan berusaha untuk
memaksimumkan pendapatan bersih mereka yang merupakan perbedaan harga barang
yang dibayarkan kepada mereka oleh para pembeli dengan harga yang terdapat
dalam proses produksi barang tersebut. Pendapatan bersih inilah yang disebut
dengan keuntungan yang mendorong pengusaha untuk menghasilkan barang-barang
kebutuhan yang dibutuhkan oleh konsumen. Semuanya dilakukan dengan tanpa
paksaan, setiap pengusaha bebas untuk melakukan apa saja, dan ini sama dengan
kebebasan konsumen yang membeli sesuatu yang mereka senangi. Penyebab mereka
berproduksi adalah maksimalisasi keuntungan dan aspek yang menentukannya adalah
tinggi rendahnya persaingan.
S.M.Yusuf dalam Economic Justice in Islamic sebagaimana
dikutip oleh Mustaq Ahmad banyak mengkritisi beberapa praktek yang seharusnya
dihindari oleh negara karena banyak bertentangan dengan spirit ajaran Islam, di
antaranya adalah:
1)
Penggunaan kekuasaan untuk sebuah
praktek mencari keuntungan lewat jalan monopoli atau menarik pajak secara tidak
langsung dari mayoritas penduduk demi kas negara. Karena bisa mengakibatkan
naiknya harga dan ketidakadilan.
2)
Pajak, retribusi dan tindakan “proteksi” dilakukan demi kepentingan
produsen dan atas nama industrialisasi.
3)
Pengadaan macam-macam pungutan karena
akan mengekang inisiatif dan juga akan mengasumsikan illegitimasi pendapatan
orang-orang kaya.
4)
Penarikan pajak dan retribusi yang tidak
proporsional.
Karena apa yang dilakukan tersebut
bisa menyebabkan ketidaksempurnaan pasar dan ketidakadilan bagi pedagang dan
pembeli, dan akhirnya bermuara pada rusaknya tatanan kemaslahatan yang ada,
karena dengan dikuasainya harga dan mekanisme pasar oleh segolongan minoritas yang
berkuasa akan mengakibatkan kegelisahan mayoritas yang berada di bawah
kekuasaan minoritas tersebut.
Mekipun dalam perekonomian Ibn
Khaldun menafikan peran negara dan pemerintah terutama dalam harga dan
mekanisme pasar, tetapi dalam hal kenegaraan dan kehidupan masyarakat ia
berpandangan bahwa antara satu individu dengan lainnya tersusun dalam suatu komunitas
bersama dalam wujud negara yang mengatur tatanan seluruh aspek kehidupan, hal
ini seiring dengan keberadaan mereka sebagai makhluk sosial yang tak mungkin
bagi mereka untuk melakukan suatu pekerjaan tanpa iringan bantuan yang lain dan
kebersamaan antara individu menjadi sangat penting. Bentuk kebersamaan tersebut
tertuang dalam wujud negara yang mempunyai pemerintahan yang berkuasa dengan
sultan atau raja yang mengatur setiap tatanan aspek kehidupan, mewujudkan
kemaslahatan, menjaga dari setiap serangan dan gangguan yang mencoba
menggoyahkan sendi-sendi utama negara dan rakyatnya. Bahkan sebagian kaum
filosof menyebutkan bahwasanya kebutuhan bersyarikat dan hidup bersama dalam
tatanan yang teratur dengan melihat pentingnya keberadaan seorang pemimpin dan
pemerintahan tidak saja dialami oleh umat manusia, tetapi juga oleh binatang
yang hidup dalam koloninya masing-masing. Dalam koloni tersebut ada yang
menjadi raja, pekerja dan rakyat biasa, sebagaimana tampak pada koloni
kehidupan lebah, semut dan serangga-serangga lainnya.
c. Pendidikan dalam Perspektif Ibnu Khaldun
Sebagai seorang
pemikir, Ibnu Khaldun adalah produk sejarah. Menurut A. Luthfi As-Syaukaniy
dari sini muncul apa yang disebut sejarah pemikiran atau sejarah intelektual.
Istilah “pemikir” merupakan sesuatu yang ambigu dan dapat diterapkan kepada
siapa saja yang memiliki spesialisasi tertentu. Ia dapat diterapkan kepada Philosoper,
Thinker, Scholar, atau Intelektual yang merujuk kepada figur
terpelajar (Toto Suharto: 2006,
hlm: 100). Jelasnya, pemikiran Ibnu Khaldun tidak dapat
dipisahkan dari akar pemikiran Islamnya. Disinilah letak alasan Iqbal
mengatakan bahwa seluruh semangat al-Muqaddimah yang merupakan
manifestasi pemikiran Ibnu khaldun, diilhami pengarangnya dari al-Quran sebagai
sumber utama dan pertama dari ajaran Islam. Dengan demikian pemikiran Ibnu
Khaldun dapat dibaca melalui setting sosial yang mengitarinya yang
diungkapkan baik secara lisan maupun tulisan sebagai sebuah kecenderungan.
Sementara itu
ada yang berpendapat bahwa Ibnu Khaldun mendapat pengaruh dari Ibnu Rusyd (1126
– 1198) dalam masalah hubungan filsafat dan agama ( Dr. Ibrahim Madkour: 2009, hlm: 119 ) Dalam bidang
pendidikan, Ibnu Khaldun berpendapat bahwa pendidikan atau ilmu dan mengajar
merupakan suatu kemestian dalam membangun masyarakat manusia. Hal ini dapat
terlihat pada pandangannya mengenai tujuan pendidikan, yaitu:
1)
Memeberikan kesempatan kepada pikiran
untuk aktif dan bekerja, karena aktifitas penting bagi terbukanya pikiran dan
kematangan individu yang pada gilirannya kematangan individu ini bermanfaat
bagi masyarakat.
2)
Memperoleh berbagai ilmu pengetahuan,
sebagai alat yang membantu manusia agar dapat hidup dengan baik, dalam rangka
terwujudnya masyarakat maju dan berbudaya.
3)
Memperoleh lapangan pekerjaan yang
dapat digunakan untuk mencari penghidupan.
Pernyataan-pernyataan ini
mengindikasikan bahwa maksud pendidikan menurut Ibnu Khaldun adalah
mentransformasikan nilai-nilai yang diperoleh dari pengalaman untuk dapat
memepertahankan eksistensi manusia dalam peradaban masyarakat. Pendidikan
adalah upaya melestarikan dan mewariskan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat
agar masyarakat tersebut bisa tetap eksis.
Dalam kaitannya dengan peserta didik,
Ibnu Khaldun melihat manusia tidak terlalu menekankan pada segi kepribadiannya
sebagaimana yang acapkali dibicarakan para filosof, baik itu filosof dari
golongan muslim atau non-muslim. Ia lebih banyak melihat manusia dalam
hubungannya dan interaksinya dengan kelompok-kelompok yang ada di masyarakat.
Dalam konteks inilah ia sering disebut sebagai salah seorang pendiri sosiolog
dan antropolog.
Menurut Ibnu Khaldun pertumbuhan
pendidikan dan ilmu pengetahuan dipengaruhi oleh peradaban. Ibnu Khaldun
berpendapat bahwa adanya perbedaan lapisan sosial timbul dari hasil kecerdasannya
yang diproses melalui pengajaran. Berkenaan dengan ilmu pengetahuan ini Ibnu
Khaldun membaginya kepada tiga macam: 1). Ilmu Lisan; 2). Ilmu Naqli; 3). Ilmu
Aqli.
Disamping beberapa hal diatas, ibnu
Khaldun juga menyoroti masalah kurikulum. Menurutnya ada tiga kategori
kurikulum yang perlu diajarkan kepada peserta didik. Pertama, kurikulum
yang merupakan alat bantu pemahaman. Kurikulum ini mencakup ilmu bahasa, ilmu
nahwu, ilmu balaghah dan syair. Kedua, kurikulum sekunder, yaitu
mata kuliah yang menjadi pendukung untuk memahami Islam. Kurikulum ini meliputi
ilmu-ilmu hikmah seperti: logika, fisika, metafisika, dan matematiuka. Ketiga,
kurikulum primer yaityu mata kuliah yang menjadi inti ajaran Islam. Kurikulum
ini meliputi semua bidang al ulum al naqliyah seperti: ilmu tafsir, ilmu
hadist, ilmu qiraat dan sebagainya.
4.
Kesimpulan.
Dari beberapa uraian diatas, terlihat bahwa Ibnu Khaldun
adalah seorang tokoh yang menaruh perhatian yang besar terhadap pemikiran tentang ilmu sejarah,
ilmu ekonomi dan juga dalam bidang pendidikan. Konsep sejarah didasarkan bahwa manusia
merupakan produk dari nenek moyang, akan tetapi produk dari sejarah, lingkungan
social, lingkungan alam, adat istiada. Kemudian konsep ekonomi ibnu khaldun
juga berperan besar dalam mekanisme pasar dengan pemikitan-pemikirannya. Konsep
pendidikan yang
dikemukakannya tampak sangat dipengarhi oleh pandangannya terhadap manusia
sebagai makhluk yang harus
dididik, dalam rangka menjalankan fungsi sosialnya di tengah-tengah masyarakat.
Pendidikan adalah alat untuk membantu seseorang agar tetap hidup bermasyarakat
dengan baik. Aspek-aspek yang dapat mendukung proses pendidikan mulai dari
peserta didik, penidik, sarana dan prasarana harus benar-benar diperhatikan
karena akan sangat berpengaruh pada jalannya proses pendidikan. Dalam pada itu
hendaknya tidak
mengabaikan hakikat tujuan pendidikan itu sendiri yaitu berorientasi pada
pengembangan, pengarahan dan pembentukan kepribadian peserta didik. Oleh karena
itu guru sebagai pendidik diharuskan mampu membaca situasi dan kondisi dalam
pembelajaran, mengetahui psikologi anak dana sebagainya.
DAFTAR
PUSTAKA
Beavers, Tedd D. 2001. Paradigm
filsafat pendidikan islam kontribusi filosof muslim.
Jakarta: Riora Cipta.
Deliarnov,
MSC, 2006. IPS Ekonomi SMP, Erlangga,
Jakarta.
Fakhri, Majid. 2002. Sejarah
Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis. Bandung:
Mizan.
Jawad Ridla,
Muhammad, 2002,Tiga Aliran Utama Teori
Pendidikan Islam, Tiara
Wacana,
Yogyakarta.
Madkour,
Ibrahim, 2009. Aliran dan teori filsafat
islam, PT. Bumi Aksara, Jakarta.
0 Comments:
Post a Comment