Breaking News
Loading...

IBNU KHALDUN


IBNU KHALDUN DAN PEMIKIRANNYA
1.      Pendahuluan.
Rasanya tidaklah berlebihan untuk mengatakan bahwa falsafah tentang segala sesuatu bukan tidak lebih penting dari sesuatu itu sendiri, karena falsafahlah yang akan menentukan kemana tujuan dari sesuatu tersebut diarahkan, karena ia merupakan ide atau pembahasan yang sistematis tentang permasalahan yang sedang dihadapi, sebagaimana pula masalah pendidikan. Brodi, seorang pakar filsafat pendidikan, sebagaimana dikutip Muhaimin dalam bukunya Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, mengatakan bahwa tugas filsafat pendidikan Islam adalah menyelidiki suatu persoalan metafisika, epistemologi, etika, logika, estetika, maupun kombinasi dari semuanya.
Dalam kaitannya dengan pemikiran Ibnu Khaldun mengenai filsafat pendidikan, dapat dikatakan bahwa pemikiran yang lahir pada pertengahan abad XIV itu telah mengakomodir ide-ide falsafah pendidikan yang masih aktual sampai hari ini. Hal itu sebagaimana dikatakan Ibnu Khaldun pada bab IV dari Muqaddimahnya, bahwa ilmu pendidikan bukan sebagai suatu aktifitas yang semata-mata bersifat pemikiran dan perenungan, yang jauh dari aspek-aspek pragmatis di dalam kehidupan, akan tetapi ia merupakan gejala konklusif yang lahir dari terbentuknya masyarakat dan perkembangannya dalam tahapan kebudayaan. Dengan demikian pendidikan merupakan sebuah keniscayaan dalam sebuah masyarakat manusia, dan ia akan selalu berkembang sesuai perkembangan dan kemajuan peradaban manusia.
Karena disadari atau tidak, sesungguhnya manusia senantiasa berada dan tidak mungkin bisa keluar dari ruangan pendidikan yang disebut “dunia”, karena ketika sekolah dikatakan sebagai lembaga pendidikan formal, maka sesungguhnya “dunia” merupakan sekolah terbesar bagi manusia, karena di dalamnya dan dari padanya manusia dapat memperoleh banyak hal tentang pengetahuan kehidupan. Karena itu Ibnu Khaldun berkeyakinan bahwa manusia yang tidak sempat memperoleh pendidikan dari kedua orang tuanya, maka zamanlah yang akan mendidiknya.
Oleh karena pendidikan sesungguhnya tidak pernah mengenal batas usia, tempat dan waktu, sebab sepanjang kehidupannya pada hakekatnya manusia akan selalu berpikir, berkreasi, beraktifitas, memiliki pengalaman-pengalaman, serta tujuan-tujuan hidup yang akan dicapai dengan cara-cara itu atau metode tertentu, yang menurut Ibnu Khaldun tujuan itu adalah kebahagiaan dunia akhirat.
Berangkat dari uraian tersebut di atas, tulisan ini akan mencoba mendiskripsikan pandangan dan ide-ide Ibnu Khaldun tentang falsafah pendidikan yang secara implisit mengacu kepada tujuan sebagaimana tersebut di atas.
2.      Biografi Ibnu Khaldun.
Ibnu Khaldun, nama lengkapnya adalah Abdurrahman Zaid Waliuddin bin Khaldun, lahir di Tunisia pada tanggal 1 Ramadhan 732 H, bertepatan dengan tanggal 27 Mei 1332 M. Nama kecilnya adalah Abdurrahman, sedangkan Abu Zaid adalah nama panggilan keluarga, karena dihubungkan dengan anaknya yang sulung. Waliuddin adalah kehormatan dan kebesaran yang dianugerahkan oleh Raja Mesir sewaktu ia diangkat menjadi Ketua Pengadilan di Mesir.
Adapun asal-usul Ibnu Khaldun menurut Ibnu Hazm ulama Andalusia yang wafat tahun 457 H/1065 M, disebutkan bahwa: Keluarga Ibnu Khaldun berasal dari Hadramaut di Yaman, dan kalau ditelusuri silsilahnya sampai kepada sahabat Rasulullah yang terkenal meriwayatkan kurang lebih 70 hadits dari Rasulullah, yaitu Wail bin Hujr. Nenek moyang Ibnu Khaldun adalah Khalid bin Usman, masuk Andalusia (Spanyol) bersama-sama para penakluk berkebangsaan Arab sekitar abad ke VII M., karena tertarik oleh kemenangan-kemenangan yang dicapai oleh tentara Islam. Ia menetap di Carmona, suatu kota kecil yang terletak di tengah-tengah antara tiga kota yaitu Cordova, Granada dan Seville, yang di kemudian hari kota ini menjadi pusat kebudayaan Islam di Andalusia.
Pada waktu itu Ibnu Khaldun baru berusia 18 tahun. Adapun pendidikan yang diperoleh Ibnu Khaldun diantaranya adalah pelajaran agama, bahasa, logika dan filsafat. Sebagai gurunya yang utama adalah ayahnya sendiri, di samping Ibnu Khaldun juga menghafal al-Qur’an, mempelajari fisika dan matematika dari ulama-ulama besar pada masanya. Di antara guru-guru Ibnu Khaldun adalah Muhammad bin Saad Burral al-Anshari, Muhammad bin Abdissalam, Muhammad bin Abdil Muhaimin al-Hadrami dan Abu Abdillah Muhammad bin Ibrohim al-Abilli. Dari merekalah Ibnu Khaldun mendapatkan berbagai macam ilmu pengetahuan. Pada tahun 1349 setelah kedua orang tua Ibnu Khaldun meninggal dunia Ibnu Khaldun memutuskan untuk pindah ke Marokko, namun dicegah oleh kakaknya, baru tahun 1354 Ibnu Khaldun melaksanakan niatnya pergi ke Marokko, dan di sanalah Ibnu Khaldun mendapatkan kesempatan untuk menyelesaikan pendidikan tingginya. Selama menjalani pendidikannya di Marokko, ada empat ilmu yang dipelajarinya secara mendalam yaitu: Kelompok bahasa Arab yang terdiri dari: Nahwu, shorof, balaghoh, khitabah dan sastra. Kelompok ilmu syari’at terdiri dari: Fiqh (Maliki), tafsir, hadits, ushul fiqh dan ilmu al-Qur’an. Kelompok ilmu ‘aqliyah (ilmu-ilmu filsafat) terdiri dari: filsafat, mantiq, fisika, matematika, falak, musik, dan sejarah. Kelompok ilmu kenegaraan terdiri atas: ilmu administrasi, organisasi, ekonomi dan politik. Dalam sepanjang hidupnya Ibnu Khaldun tidak pernah berhenti belajar, sebagaimana dikatakan oleh Von Wesendonk: bahwa sepanjang hidupnya, dari awal hingga wafatnya Ibnu Khaldun telah dengan sungguh-sungguh mencurahkan perhatiannya untuk mencari ilmu. Sehingga merupakan hal yang wajar apabila dengan kecermelangan otaknya dan didukung oleh kemauannya yang membaja untuk menjadi seorang yang alim dan arif, hanya dalam waktu kurang dari seperempat abad Ibnu Khaldun telah mampu menguasai berbagai ilmu pengetahuan.
3.      Pembahasan.
a.       Pemikiran Ibnu khaldun tentang kedudukan manusia dalam alam semesta.
Manusia menurut Ibnu Khaldun adalah bukan merupakan produk nenek moyang, akan tetapi produk sejarah, lingkungan sosial, lingkungan alam, adat istiadat. Karena itu lingkungan sosial merupakan pemegang tanggung jawab dan sekaligus memberikan corak penilaian seorang manusia. Hal ini memberikan arti bahwa pendidik menempati posisi sentral dalam rangka membentuk manusia ideal yang diinginkan.
Manusia sebagai khalifah fil ardli, dibekali oleh Allah SWT akal pikiran, untuk mengatur, merekayasa, dan mengolah sumber daya alam untuk keperluan seluruh umat manusia, sehingga manusia memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat. Maka manusia dikatakan sebagai makhluk yang berbeda dengan makhluk yang lainnya, karena manusia adalah makhluk yang berpikir. Oleh karena itu manusia mampu melahirkan ilmu (pengetahuan) dan teknologi. Sifat-sifat semacam ini tidak dimiliki oleh makhluk lainnya. Kemampuan berpikirnya itu tidak hanya membuat kehidupannya, tetapi juga menarik peneliti terhadap berbagai cara guna memperoleh makna hidup. Proses-proses yang semacam ini melahirkan perbedaan.
Akal pikiran yang menghasilkan ilmu pengetahuan, juga dapat menuntun manusia ke jalan Ilahi dan meningkatkan derajat manusia sehingga manusia diwajibkan untuk menuntut ilmu pengetahuan. Hidupnya jiwa manusia karena ilmu pengetahuan, dan gelapnya hati manusia karena miskinnya ilmu pengetahuan.
Dengan akal pikiran inilah yang kemudian menjadikan manusia memiliki perbedaan dengan makhluk lainnya, khususnya binatang. Perbedaan ini antara lain karena manusia disamping memiliki pemikiran yang dapat menolong dirinya untuk menghasilkan kebutuhan hidupnya, juga memiliki sikap hidup bermasyarakat yang kemudian dapat membentuk suatu masyarakat antara satu dengan lainnya saling menolong. Dari keadaan manusia yang demikian itu maka timbullah ilmu pengetahuan dan masyarakat. Pemikiran tersebut pada suatu saat diperlukan dalam menghasilkan sesuatu yang tidak dapat dicapai oleh panca indera. Ilmu yang demikian mesti diperoleh dari orang lain telah lebih dahulu mengetahui.
b.      Pemikiran Ekonomi Ibnu Khaldun
Ibn Khaldun juga mendukung bidang ekonomi internasional. Melalui pengamatannya dan pikiran analitisnya, ia niscaya menerangkan keuntungan perdagangan antar negara-negara. Melalui perdagangan luar negeri, menurut Ibnu Khaldun, kepuasan masyarakat, laba pedagang, dan kekayaan negara semuanya menungkat. Pertimbangan untuk mengadakan foreign trade adalah:( 1) lebih murah dibanding memproduksi secara internal,( 2) mutu yang lebih baik, atau  ( 3) a totally new product.Ibnu Khaldun dalam analisa dan pengamatan perdagangan luar negerinya pengenalan layak mendapat penghargaan dalam bidang ekonomi internasional. Pokok keuntungan dari perdagangan telah dikembangkan dan yang diperluas, khususnya,sejak penerbitan Political Discourses oleh David Hume pada tahun 1752. Tetapi yang pertama menanamkan pokok pikiran tersebut adalah Ibnu Khaldun empat abad sebelumnya.Kendati kontribusi keseluruhan Ibn Khaldun kepada bidang ekonomi sangat penting, Adam Smith lah yang diberi gelar ” bapak ekonomi.”                    ( Drs. Deliarnov, MSC: 2006, hlm: 6 )  Ibnu Khaldun jauh lebih orisinil dibanding Adam Smith, meskipun fakta bahwa yang terdahulu juga telah mempengaruhi pemikiran dan teori-teorinya, seperti spesialisasi Plato, Analisa uang Aristotle, dan Tahir Ibn al-Husayn’s tentang peran pemerintah. Meski demikian, Ibn Khaldun lah yang menemukan gagasan asli dalam banyak segi dalam pemikiran ekonomi.
Dalam kaitannya dengan harga suatu barang Ibn Khaldun menyatakan bahwa yang mengendalikannya adalah penawaran dan permintaan terhadap barang. Bila permintaan terhadap barang meningkat, maka harga juga akan meningkat, namun bila permintaannya menurun maka harga juga akan menurun. Dalam hal ini Ibn Khaldun membedakan suatu barang dalam dua kategori, yaitu barang primer dan sekunder. Sebagaimana dijelaskan dalam al-Muqadimah bab IV pasal “tentang harga-harga di kota” bahwa harga barang-barang primer (bahan makanan) yang ada di kota-kota besar tidak sama dengan yang ada di kota-kota kecil. Begitu pula dengan harga barang-barang sekunder (non bahan makanan) di kedua kota tersebut juga tidak sama. Hal ini karena berbedanya tingkat permintaan penduduk pada masing-masing kota terhadap komoditi yang ditawarkan di pasar.
Di kota-kota besar harga barang-barang primer lebih murah dibandingkan dengan di kota-kota kecil, hal ini karena tiap penduduknya telah mengalami surplus bahan-bahan tersebut (barang-barang primer), dikarenakan mereka telah berusaha untuk mendapatkannya kemudian menyimpannya, hingga mereka hidup dalam kemakmuran sebagai hasil dari melimpahnya bahan makanan. Dan layaknya manusia lainnya yang selalu menginginkan suatu yang lebih dari apa yang ada di genggaman, maka kebutuhan pun berpaling dari barang-barang primer ke barang-barang sekunder lainnya. Seiring dengan semakin tingginya neraca kemakmuran masyarakat maka semaskin tinggi pula animo mereka untuk memilikinya, ini yang oleh Ibn Khaldun disebut dengan naiknya permintaan dan naiknya harga khususnya terhadap barang-barang sekunder di kota-kota besar. Sedang di kota-kota kecil, yang terjadi adalah sebaliknya hal ini karena mereka lebih disibukkan untuk mencari dan mengumpulkan barang-barang primer (bahan makanan) dari pada barang-barang sekunder, karena menurut mereka kebutuhan akan barang-barang primer lebih utama dari yang lainnya. Dalam hal ini nilai dari kemanfaatan barang yang memegang kendali utama naik-turunnya penawaran dan permintaan. Maka apabila nilai kemanfaatan suatu barang itu naik maka permintaan terhadap barang itu juga naik, dan sebaliknya bila nilai kemanfaatan suatu barang itu turun maka permintaan terhadap barang itu juga akan turun. Hal inilah yang terjadi dengan barang-barang primer dengan barang-barang sekunder di masing-masing kota tersebut.
Dalam hal mekanisme pasar, Ibn Khaldun sangat menekankan pada prinsip pasar bebas dan menafikan peran pemerintah, karena menurutnya pemerintah adalah pemegang otoritas tunggal yang berkuasa sepenuhnya atas semua aspek kehidupan masyarakat. Market intervention harus dicegah, karena dengan adanya market intervention berarti kekuasaan pemerintah akan digunakan untuk keperluan mereka sebagai pemegang puncak kekuasan aristokrasi. Terlebih bila mereka ikut serta dalam praktek perdagangan dan pertanian.
Dalam al-Muqadimah, bab III pasal “perdagangan yang dilakukan raja dan negara berbahaya dan merusak pendapatan rakyat”, dijelaskan bahwa pada mulanya para pelaku perdagangan dan pertanian berada dalam sebuah mekanisme yang mempunyai kedudukan yang sama atau hampir sama dalam kekayaan dan kekuasaan. Dalam kondisi demikian, price competition dan mekanisme pasar dapat berjalan dengan sempurna. Tapi ketika pemerintah ikut ambil bagian dalam perdagangan dan pertanian maka normalitas ini akan rusak, karena bagaimanapun juga pemerintah akan berusaha untuk menguasainya, memproduksi, menjual dan membeli hasil produksi dengan kehendak sendiri tanpa memperdulikan keadaan pasar dan keadilan harga.
Akibatnya adalah bahwa para pedagang dan petani akan mengalami kesulitan dalam pengembangan usaha mereka. Meski mereka telah mengeluarkan seluruh modal usaha mereka, tetapi mekanisme pasar dan juga harga tetap berada pada pemerintah sebagai pemegang kekuasaan yang tidak menghindahkan keadilan, kesempurnaan mekanisme pasar dan stabilitas harga. Dan bila tetap dibiarkan berjalan tanpa mengindahkan hak pedagang dan petani maka mereka akan mengalami kerugian dan menghentikan usaha mereka, untuk selanjutnya masyarakat akan mengalami kesulitan dalam mendapatkan barang-barang yang mereka butuhkan. Devisa negara dari sektor pajak perdagangan, perindustrian dan pertanian juga mengalami penurunan sebagai akibat dari banyaknya produsen barang dan penghasil komoditi yang dibutuhkan masyarakat yang bangkrut dan gulung tikar.
Pendapat Ibn Khaldun di atas dapat dipahami, sebab ia hidup pada suatu masa di mana negara bukanlah wakil seluruh masyarakat dan rakyat, tetapi wakil dari kelompok minoritas aristokrasi yang berkuasa dengan sultan atau raja berada di puncak kekuasaan mutlak. Oleh karena itu tidak mengherankan kalau Ibn Khaldun mengkritik campur tangan negara, karena menurutnya rakyat dan masyarakatlah yang berhak mengarahkan ekonomi dan bukan kelompok minoritas aristokrasi tersebut.
Hal ini tentunya berlawanan dengan prinsip keadilan, keselarasan dan keterbukaan dalam dunia bisnis dan perdagangan karena pada dasarnya setiap pengusaha akan berusaha untuk memaksimumkan pendapatan bersih mereka yang merupakan perbedaan harga barang yang dibayarkan kepada mereka oleh para pembeli dengan harga yang terdapat dalam proses produksi barang tersebut. Pendapatan bersih inilah yang disebut dengan keuntungan yang mendorong pengusaha untuk menghasilkan barang-barang kebutuhan yang dibutuhkan oleh konsumen. Semuanya dilakukan dengan tanpa paksaan, setiap pengusaha bebas untuk melakukan apa saja, dan ini sama dengan kebebasan konsumen yang membeli sesuatu yang mereka senangi. Penyebab mereka berproduksi adalah maksimalisasi keuntungan dan aspek yang menentukannya adalah tinggi rendahnya persaingan.
S.M.Yusuf dalam Economic Justice in Islamic sebagaimana dikutip oleh Mustaq Ahmad banyak mengkritisi beberapa praktek yang seharusnya dihindari oleh negara karena banyak bertentangan dengan spirit ajaran Islam, di antaranya adalah:

1)      Penggunaan kekuasaan untuk sebuah praktek mencari keuntungan lewat jalan monopoli atau menarik pajak secara tidak langsung dari mayoritas penduduk demi kas negara. Karena bisa mengakibatkan naiknya harga dan ketidakadilan.
2)      Pajak, retribusi dan tindakan “proteksi” dilakukan demi kepentingan produsen dan atas nama industrialisasi.
3)      Pengadaan macam-macam pungutan karena akan mengekang inisiatif dan juga akan mengasumsikan illegitimasi pendapatan orang-orang kaya.
4)      Penarikan pajak dan retribusi yang tidak proporsional.

Karena apa yang dilakukan tersebut bisa menyebabkan ketidaksempurnaan pasar dan ketidakadilan bagi pedagang dan pembeli, dan akhirnya bermuara pada rusaknya tatanan kemaslahatan yang ada, karena dengan dikuasainya harga dan mekanisme pasar oleh segolongan minoritas yang berkuasa akan mengakibatkan kegelisahan mayoritas yang berada di bawah kekuasaan minoritas tersebut.
Mekipun dalam perekonomian Ibn Khaldun menafikan peran negara dan pemerintah terutama dalam harga dan mekanisme pasar, tetapi dalam hal kenegaraan dan kehidupan masyarakat ia berpandangan bahwa antara satu individu dengan lainnya tersusun dalam suatu komunitas bersama dalam wujud negara yang mengatur tatanan seluruh aspek kehidupan, hal ini seiring dengan keberadaan mereka sebagai makhluk sosial yang tak mungkin bagi mereka untuk melakukan suatu pekerjaan tanpa iringan bantuan yang lain dan kebersamaan antara individu menjadi sangat penting. Bentuk kebersamaan tersebut tertuang dalam wujud negara yang mempunyai pemerintahan yang berkuasa dengan sultan atau raja yang mengatur setiap tatanan aspek kehidupan, mewujudkan kemaslahatan, menjaga dari setiap serangan dan gangguan yang mencoba menggoyahkan sendi-sendi utama negara dan rakyatnya. Bahkan sebagian kaum filosof menyebutkan bahwasanya kebutuhan bersyarikat dan hidup bersama dalam tatanan yang teratur dengan melihat pentingnya keberadaan seorang pemimpin dan pemerintahan tidak saja dialami oleh umat manusia, tetapi juga oleh binatang yang hidup dalam koloninya masing-masing. Dalam koloni tersebut ada yang menjadi raja, pekerja dan rakyat biasa, sebagaimana tampak pada koloni kehidupan lebah, semut dan serangga-serangga lainnya.
c.       Pendidikan dalam Perspektif Ibnu Khaldun
Sebagai seorang pemikir, Ibnu Khaldun adalah produk sejarah. Menurut A. Luthfi As-Syaukaniy dari sini muncul apa yang disebut sejarah pemikiran atau sejarah intelektual. Istilah “pemikir” merupakan sesuatu yang ambigu dan dapat diterapkan kepada siapa saja yang memiliki spesialisasi tertentu. Ia dapat diterapkan kepada Philosoper, Thinker, Scholar, atau Intelektual yang merujuk kepada figur terpelajar (Toto Suharto: 2006, hlm: 100). Jelasnya, pemikiran Ibnu Khaldun tidak dapat dipisahkan dari akar pemikiran Islamnya. Disinilah letak alasan Iqbal mengatakan bahwa seluruh semangat al-Muqaddimah yang merupakan manifestasi pemikiran Ibnu khaldun, diilhami pengarangnya dari al-Quran sebagai sumber utama dan pertama dari ajaran Islam. Dengan demikian pemikiran Ibnu Khaldun dapat dibaca melalui setting sosial yang mengitarinya yang diungkapkan baik secara lisan maupun tulisan sebagai sebuah kecenderungan.
Sementara itu ada yang berpendapat bahwa Ibnu Khaldun mendapat pengaruh dari Ibnu Rusyd (1126 – 1198) dalam masalah hubungan filsafat dan agama ( Dr. Ibrahim Madkour: 2009, hlm: 119 ) Dalam bidang pendidikan, Ibnu Khaldun berpendapat bahwa pendidikan atau ilmu dan mengajar merupakan suatu kemestian dalam membangun masyarakat manusia. Hal ini dapat terlihat pada pandangannya mengenai tujuan pendidikan, yaitu:
1)      Memeberikan kesempatan kepada pikiran untuk aktif dan bekerja, karena aktifitas penting bagi terbukanya pikiran dan kematangan individu yang pada gilirannya kematangan individu ini bermanfaat bagi masyarakat.
2)      Memperoleh berbagai ilmu pengetahuan, sebagai alat yang membantu manusia agar dapat hidup dengan baik, dalam rangka terwujudnya masyarakat maju dan berbudaya.
3)      Memperoleh lapangan pekerjaan yang dapat digunakan untuk mencari penghidupan.  
Pernyataan-pernyataan ini mengindikasikan bahwa maksud pendidikan menurut Ibnu Khaldun adalah mentransformasikan nilai-nilai yang diperoleh dari pengalaman untuk dapat memepertahankan eksistensi manusia dalam peradaban masyarakat. Pendidikan adalah upaya melestarikan dan mewariskan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat agar masyarakat tersebut bisa tetap eksis.
Dalam kaitannya dengan peserta didik, Ibnu Khaldun melihat manusia tidak terlalu menekankan pada segi kepribadiannya sebagaimana yang acapkali dibicarakan para filosof, baik itu filosof dari golongan muslim atau non-muslim. Ia lebih banyak melihat manusia dalam hubungannya dan interaksinya dengan kelompok-kelompok yang ada di masyarakat. Dalam konteks inilah ia sering disebut sebagai salah seorang pendiri sosiolog dan antropolog.
Menurut Ibnu Khaldun pertumbuhan pendidikan dan ilmu pengetahuan dipengaruhi oleh peradaban. Ibnu Khaldun berpendapat bahwa adanya perbedaan lapisan sosial timbul dari hasil kecerdasannya yang diproses melalui pengajaran. Berkenaan dengan ilmu pengetahuan ini Ibnu Khaldun membaginya kepada tiga macam: 1). Ilmu Lisan; 2). Ilmu Naqli; 3). Ilmu Aqli.
Disamping beberapa hal diatas, ibnu Khaldun juga menyoroti masalah kurikulum. Menurutnya ada tiga kategori kurikulum yang perlu diajarkan kepada peserta didik. Pertama, kurikulum yang merupakan alat bantu pemahaman. Kurikulum ini mencakup ilmu bahasa, ilmu nahwu, ilmu balaghah dan syair. Kedua,  kurikulum sekunder, yaitu mata kuliah yang menjadi pendukung untuk memahami Islam. Kurikulum ini meliputi ilmu-ilmu hikmah seperti: logika, fisika, metafisika, dan matematiuka. Ketiga, kurikulum primer yaityu mata kuliah yang menjadi inti ajaran Islam. Kurikulum ini meliputi semua bidang al ulum al naqliyah seperti: ilmu tafsir, ilmu hadist, ilmu qiraat dan sebagainya. 









4.      Kesimpulan.
Dari beberapa uraian diatas, terlihat bahwa Ibnu Khaldun adalah seorang tokoh yang menaruh perhatian yang besar terhadap pemikiran tentang ilmu sejarah, ilmu ekonomi dan juga dalam bidang pendidikan. Konsep sejarah didasarkan bahwa manusia merupakan produk dari nenek moyang, akan tetapi produk dari sejarah, lingkungan social, lingkungan alam, adat istiada. Kemudian konsep ekonomi ibnu khaldun juga berperan besar dalam mekanisme pasar dengan pemikitan-pemikirannya. Konsep pendidikan yang dikemukakannya tampak sangat dipengarhi oleh pandangannya terhadap manusia sebagai makhluk yang harus dididik, dalam rangka menjalankan fungsi sosialnya di tengah-tengah masyarakat. Pendidikan adalah alat untuk membantu seseorang agar tetap hidup bermasyarakat dengan baik. Aspek-aspek yang dapat mendukung proses pendidikan mulai dari peserta didik, penidik, sarana dan prasarana harus benar-benar diperhatikan karena akan sangat berpengaruh pada jalannya proses pendidikan. Dalam pada itu hendaknya tidak mengabaikan hakikat tujuan pendidikan itu sendiri yaitu berorientasi pada pengembangan, pengarahan dan pembentukan kepribadian peserta didik. Oleh karena itu guru sebagai pendidik diharuskan mampu membaca situasi dan kondisi dalam pembelajaran, mengetahui psikologi anak dana sebagainya.  








DAFTAR PUSTAKA

Beavers, Tedd D. 2001. Paradigm filsafat pendidikan islam kontribusi filosof muslim.
Jakarta: Riora Cipta.
Deliarnov, MSC, 2006. IPS Ekonomi SMP, Erlangga, Jakarta.
Fakhri, Majid. 2002. Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis. Bandung:
Mizan.
Jawad Ridla, Muhammad, 2002,Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam, Tiara
Wacana, Yogyakarta.
Madkour, Ibrahim, 2009. Aliran dan teori filsafat islam, PT. Bumi Aksara, Jakarta.




0 Comments:

Copyright © 2014 TerasNgopi All Right Reserved