REFLEKSI HARI PENDIDIKAN NASIONAL: PENDIDIKAN MENURUT PAULO FREIRE
Pendidikan merupakan usaha untuk membebaskan
manusia, sedangkan pendidikan menurut Paulo Freire merupakan usaha untuk
mengembalikan fungsi pendidikan sebagai alat yang membebaskan manusia dari
berbagai bentuk penindasan dan ketertindasan, atau bisa disebut dengan usaha
untuk "memanusiakan manusia" (humanisasi). Dengan menggunakan
pendekatan humanis, ia membangun konsep pendidikannya mulai dari konsep manusia
sebagai subyek aktif. Manusia adalah makhluk praksis, yakni makhluk yang dapat
beraksi dan berefleksi dengan menggunakan pikirannya.
Pendidikan dengan pendekatan kemanusiaan
sering diidentikan dengan pembebasan, yakni pembebasan dari hal-hal yang tidak
manusiawi. Jadi, untuk mewujudkan pendidikan yang memanusiakan manusia
dibutuhkan suatu pendidikan yang membebaskan dari unsur dehumanisasi.
Dehumanisasi tersebut bukan hanya menandai seseorang yang kemanusiannya telah
dirampas, melainkan (dalam cara yang berlainan) menandai pihak yang telah
merampas kemanusiaan itu, dan merupakan pembengkokkan cita-cita untuk menjadi
manusia yang lebih utuh.
Konsep pendidikan Paulo Freire berpijak pada
penghargaan terhadap manusia. Ia menempatkan pendidik dan peserta didik sebagai
subyek dalam proses pendidikan, karena mereka memiliki kedudukan yang sejajar.
Pendidikan adalah sebuah kegiatan belajar bersama antara pendidik dan peserta
didik dengan perantara dunia, oleh objek-objek yang dapat dikenal. Pendidikan
tidak lagi sekedar pengajaran, namun dialog antara para peserta didik dan
pendidik yang juga belajar. Keduanya bertanggung jawab bersama atas proses
pencapaian. Hal ini merupakan sebuah penghargaan terhadap peserta didik sebagai
manusia. Pendidikan bukan lagi proses transfer ilmu pengetahuan, sebab keduanya
sama-sama dalam suasana dialogis membuka cakrawala realita dunia.
Hakekat pendidikan Paulo Freire diarahkan atas
pandangannya terhadap manusia dan dunia, pendidikan harus berorientasi pada
pengenalan realitas diri manusia dan dirinya sendiri, serta memiliki kesadaran
dan berpotensi sebagai Man of Action untuk mengubah dunianya.
Pendidikan adalah instrumen untuk membebaskan manusia supaya mampu mewujudkan
potensinya. Oleh karena itu, pendidikan memainkan peranan strategis untuk
membawa manusia kepada kehidupan yang bermartabat dan berkualitas.
Sayangnya, gambaran dunia pendidikan secara
umum masih jauh dari ideal. Sebagian besar sekolah (di Indonesia khususnya)
hanya berfokus pada target kuantitatif yang bisa diukur, seperti misalnya harus
lulus mata pelajaran dengan nilai tertentu, mendapatkan trophy, dan
lain sebagainya. Padahal, model pendidikan seperti itu jelas menimbulkan efek
yang buruk bagi peserta didik. Menurut Paulo Freire dalam bukunya yang berjudul
Pendidikan Kaum Tertindas (1994), model pendidikan yang semacam itu ia sebut
sebagaibanking education alias pendidikan gaya bank.
Dalam pendidikan gaya bank, peserta didik
hanya dijejali dengan ilmu secara satu arah dengan tujuan mendapatkan
nilai-nilai kuantitatif yang dituju. Praktek pendidikan hanya dipahami sebatas
sarana pewarisan ilmu. Pendidikan tidak dipahami sebagai transformasi ilmu
pengetahuan dan nilai-nilai yang lebih menekankan pada proses pendewasaan
pemikiran dan mengartikan belajar sebagai proses memaknai dan mengkritisi
realitas sosial yang ada di lingkungan sekitar. Bukan hanya mencari ijazah
dengan nilai yang tinggi maupun sebagai sarana meningkatkan status sosial.
Pendidikan gaya bank inilah yang telah menjadi
alat untuk menindas kesadaran akan realitas yang sejati dan menyebabkan
seseorang menjadi pasif dan menerima begitu saja keberadaannya. Pendidikan gaya
bank tidak akan mendorong peserta didik untuk secara kritis mempertimbangkan
realitas. Peserta didik hanya akan menjadi penerima yang pasif dari realitas yang
diberikan, tanpa pernah bisa mempertanyakan kebenaran atau kebergunaan realitas
yang diajarkan kepada dirinya. Yang disebut keberhasilan dalam metode ini
adalah ketika peserta didik dapat menghapalkan dengan baik semua pengetahuan
yang telah didepositokan ke dalam dirinya. (Arif Safrodin)
0 Comments:
Post a Comment